Mempromosikan Bahasa Indonesia di Luar Negeri
Posted by PuJa on November 30, 2011
Ajip Rosidi
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Kerajaan Malaysia sejak lama memperlihatkan langkah-langkah positif untuk memajukan salah satu bahasa resminya, yaitu bahasa Malaysia. Di Malaysia, kecuali bahasa Malaysia (tadinya bahasa Melayu), bahasa Cina, Inggris, dan Tamil pun menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, yang dikembangkan oleh pemerintah Malaysia hanya bahasa Malaysia.
Dalam memajukan bahasa Malaysia, pemerintah Malaysia sangat bersungguh-sungguh. Kecuali melakukan langkah-langkah di dalam negeri, baik dalam hal pendidikan bahasa dan sastra Malaysia di sekolah-sekolah serta di masyarakat maupun dalam usaha membina dan mendorong agar orang banyak menulis karya ilmu ataupun karya sastra dalam bahasa tersebut, mereka pun membuat berbagai langkah untuk menarik minat orang mancanegara terhadap bahasa Malaysia. Mereka menyediakan tenaga pengajar bahasa dan sastra Malaysia di berbagai perguruan tinggi di luar negeri yang mengajarkan bahasa Indonesia. Indonesia adem ayem saja menghadapi minat orang luar terhadap bahasa Indonesia, bersikap pasif dengan menyerahkan seluruh insiatif dan langkah (serta biaya) kepada asing, sedangkan Malaysia justru bersifat agresif. Di samping menyediakan tenaga pengajar (dengan biaya ditanggung oleh pemerintah Malaysia), asal perguruan tinggi yang bersangkutan membukakan pintu bagi pengajaran bahasa dan sastra Malaysia, pemerintah Malaysia juga menyediakan dana untuk mengundang para sarjana bahasa dan sastra Indonesia untuk memperhatikan dan membuat penelitian tentang bahasa dan sastra Malaysia yang hasilnya kemudian diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Karena sikap dan langkah itu, banyak ahli mancanegara tentang bahasa dan sastra Indonesia, “berhijrah” menjadi pemerhati, peneliti, dan penerjemah bahasa Malaysia, antara lain Dr. Monique Lajoubert dari Prancis, Dr. Wendy Mukherjee dan Harry Aveling dari Australia, Prof. Parnickel dari Rusia (sudah meninggal), dan lain-lain.
Oleh karena itu, kita tak usah merasa heran apalagi cemburu kalau ternyata perhatian orang dan sarjana asing terhadap bahasa dan sastra Malaysia kian meningkat sementara perhatian terhadap bahasa dan sastra Indonesia kian kecil. Kita merasa bangga kalau mendengar ada orang asing yang mempelajari dan menjadi pakar bahasa dan sastra nasional kita, tetapi kita tidak pernah memelihara minat itu agar terus tumbuh. Seakan-akan kita yakin bahasa dan sastra Indonesia itu begitu hebat dan begitu kaya isinya sehingga akan selalu menarik minat orang asing untuk mempelajarinya. Kita tidak melihat bahwa untuk bahasa-bahasa yang memang hebat dan memang kaya isinya seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jerman pun, pemerintahnya masih menganggap perlu untuk mempromosikannya di luar negeri dengan mengadakan lembaga yang khusus dan menyediakan biaya yang khusus pula.
Kita selalu mengatakan bahwa untuk kegiatan seperti itu tidak punya dana. Akan tetapi untuk menempatkan orang-orang sebagai wakil bangsa di negara-negara yang kebanyakan tak kita ketahui apa manfaatnya, ternyata selalu ada uang. Banyak perwakilan RI yang sebenarnya lebih baik ditutup karena hanya menghabiskan uang. Sebagai bangsa miskin yang hidupnya dari utang, tak perlulah kita bermegah-megah dengan membuka perwakilan (kedutaan, kedutaan besar, konsulat, ataupun konsulat jenderal) yang sama sekali tak efisien. Para diplomat homestaff kita banyak yang mendapat fasilitas yang sama dengan yang hanya diperoleh duta besar negara maju. Padahal yang dikerjakannya umumnya hanyalah urusan administrasi yang rutin, sehingga nasib bangsa kita yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri baru menjadi perhatian mereka kalau sudah menjadi kasus di pengadilan atau sesudah bunuh diri – dan selalu terlambat dan tak pernah berhasil dibela.
Jadi yang tidak ada itu bukan dananya, melainkan kemauannya. Kemauannya tidak ada karena kita tidak mempunyai kesadaran akan arti kebudayaan, kesenian, dan bahasa serta sastra bagi bangsa. Kita menganggap kebudayaan itu hanya sebagai barang jadi, komoditi yang laku dijual, oleh karena itu kebudayaan disatukan dalam satu departemen dengan pariwisata. Kita menganggap kebudayaan itu sejenis dengan pariwisata, yaitu sesuatu yang digemari oleh orang asing yang untuk itu mereka bersedia mengeluarkan dolar. Yang menarik perhatian kita hanya dolar yang akan dihasilkannya. Kita tidak pernah menganggap kebudayaan itu sebagai proses yang memengaruhi eksistensi kita sebagai bangsa. Waktu disatuatapkan dengan pendidikan, kebudayaan hanyalah jadi pelengkap; tetapi rasanya masih lebih tepat daripada disatuatapkan dengan pariwisata.
Kenyataan bahwa dahulu kebudayaan disatuatapkan dengan pendidikan tetapi sekarang disatuatapkan dengan pariwisata menggambarkan alam pikiran kita sebagai bangsa, dahulu kita lebih idealistis, menempatkan kebudayaan sejajar dengan pendidikan. Akan tetapi, setelah kita menganggap pendidikan merupakan kegiatan bisnis yang bisa menghasilkan uang, pandangan kita terhadap kebudayaan juga berubah. Kita melihat kebudayaan sebagai sumber devisa. Ironisnya, berpindahnya kebudayaan disatuatapkan dengan pariwisata itu dilakukan ketika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang konon budayawan.
Memang kita tidak tahu manusia macam apa sebenarnya “budayawan” itu. “Sastrawan” kita tahu, ialah orang yang berolah sastra. “Wartawan” kita tahu, ialah orang yang biasa membuat atau terlibat dengan kegiatan jual beli warta. “Dramawan” kita tahu, ialah orang yang aktif dalam bidang drama atau teater. “Seniman” kita tahu, ialah orang yang berkesenian, menciptakan kesenian. Akan tetapi “budayawan”? Asal ada orang yang tidak jelas masuk ke dalam “wan” yang lain, mudah saja disebut budayawan. Artinya budayawan adalah yang bukan sastrawan, yang bukan dramawan, yang bukan seniman, yang bukan wartawan….***
Penulis, budayawan /15 Jan 2011.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Kerajaan Malaysia sejak lama memperlihatkan langkah-langkah positif untuk memajukan salah satu bahasa resminya, yaitu bahasa Malaysia. Di Malaysia, kecuali bahasa Malaysia (tadinya bahasa Melayu), bahasa Cina, Inggris, dan Tamil pun menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, yang dikembangkan oleh pemerintah Malaysia hanya bahasa Malaysia.
Dalam memajukan bahasa Malaysia, pemerintah Malaysia sangat bersungguh-sungguh. Kecuali melakukan langkah-langkah di dalam negeri, baik dalam hal pendidikan bahasa dan sastra Malaysia di sekolah-sekolah serta di masyarakat maupun dalam usaha membina dan mendorong agar orang banyak menulis karya ilmu ataupun karya sastra dalam bahasa tersebut, mereka pun membuat berbagai langkah untuk menarik minat orang mancanegara terhadap bahasa Malaysia. Mereka menyediakan tenaga pengajar bahasa dan sastra Malaysia di berbagai perguruan tinggi di luar negeri yang mengajarkan bahasa Indonesia. Indonesia adem ayem saja menghadapi minat orang luar terhadap bahasa Indonesia, bersikap pasif dengan menyerahkan seluruh insiatif dan langkah (serta biaya) kepada asing, sedangkan Malaysia justru bersifat agresif. Di samping menyediakan tenaga pengajar (dengan biaya ditanggung oleh pemerintah Malaysia), asal perguruan tinggi yang bersangkutan membukakan pintu bagi pengajaran bahasa dan sastra Malaysia, pemerintah Malaysia juga menyediakan dana untuk mengundang para sarjana bahasa dan sastra Indonesia untuk memperhatikan dan membuat penelitian tentang bahasa dan sastra Malaysia yang hasilnya kemudian diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Karena sikap dan langkah itu, banyak ahli mancanegara tentang bahasa dan sastra Indonesia, “berhijrah” menjadi pemerhati, peneliti, dan penerjemah bahasa Malaysia, antara lain Dr. Monique Lajoubert dari Prancis, Dr. Wendy Mukherjee dan Harry Aveling dari Australia, Prof. Parnickel dari Rusia (sudah meninggal), dan lain-lain.
Oleh karena itu, kita tak usah merasa heran apalagi cemburu kalau ternyata perhatian orang dan sarjana asing terhadap bahasa dan sastra Malaysia kian meningkat sementara perhatian terhadap bahasa dan sastra Indonesia kian kecil. Kita merasa bangga kalau mendengar ada orang asing yang mempelajari dan menjadi pakar bahasa dan sastra nasional kita, tetapi kita tidak pernah memelihara minat itu agar terus tumbuh. Seakan-akan kita yakin bahasa dan sastra Indonesia itu begitu hebat dan begitu kaya isinya sehingga akan selalu menarik minat orang asing untuk mempelajarinya. Kita tidak melihat bahwa untuk bahasa-bahasa yang memang hebat dan memang kaya isinya seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jerman pun, pemerintahnya masih menganggap perlu untuk mempromosikannya di luar negeri dengan mengadakan lembaga yang khusus dan menyediakan biaya yang khusus pula.
Kita selalu mengatakan bahwa untuk kegiatan seperti itu tidak punya dana. Akan tetapi untuk menempatkan orang-orang sebagai wakil bangsa di negara-negara yang kebanyakan tak kita ketahui apa manfaatnya, ternyata selalu ada uang. Banyak perwakilan RI yang sebenarnya lebih baik ditutup karena hanya menghabiskan uang. Sebagai bangsa miskin yang hidupnya dari utang, tak perlulah kita bermegah-megah dengan membuka perwakilan (kedutaan, kedutaan besar, konsulat, ataupun konsulat jenderal) yang sama sekali tak efisien. Para diplomat homestaff kita banyak yang mendapat fasilitas yang sama dengan yang hanya diperoleh duta besar negara maju. Padahal yang dikerjakannya umumnya hanyalah urusan administrasi yang rutin, sehingga nasib bangsa kita yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri baru menjadi perhatian mereka kalau sudah menjadi kasus di pengadilan atau sesudah bunuh diri – dan selalu terlambat dan tak pernah berhasil dibela.
Jadi yang tidak ada itu bukan dananya, melainkan kemauannya. Kemauannya tidak ada karena kita tidak mempunyai kesadaran akan arti kebudayaan, kesenian, dan bahasa serta sastra bagi bangsa. Kita menganggap kebudayaan itu hanya sebagai barang jadi, komoditi yang laku dijual, oleh karena itu kebudayaan disatukan dalam satu departemen dengan pariwisata. Kita menganggap kebudayaan itu sejenis dengan pariwisata, yaitu sesuatu yang digemari oleh orang asing yang untuk itu mereka bersedia mengeluarkan dolar. Yang menarik perhatian kita hanya dolar yang akan dihasilkannya. Kita tidak pernah menganggap kebudayaan itu sebagai proses yang memengaruhi eksistensi kita sebagai bangsa. Waktu disatuatapkan dengan pendidikan, kebudayaan hanyalah jadi pelengkap; tetapi rasanya masih lebih tepat daripada disatuatapkan dengan pariwisata.
Kenyataan bahwa dahulu kebudayaan disatuatapkan dengan pendidikan tetapi sekarang disatuatapkan dengan pariwisata menggambarkan alam pikiran kita sebagai bangsa, dahulu kita lebih idealistis, menempatkan kebudayaan sejajar dengan pendidikan. Akan tetapi, setelah kita menganggap pendidikan merupakan kegiatan bisnis yang bisa menghasilkan uang, pandangan kita terhadap kebudayaan juga berubah. Kita melihat kebudayaan sebagai sumber devisa. Ironisnya, berpindahnya kebudayaan disatuatapkan dengan pariwisata itu dilakukan ketika pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang konon budayawan.
Memang kita tidak tahu manusia macam apa sebenarnya “budayawan” itu. “Sastrawan” kita tahu, ialah orang yang berolah sastra. “Wartawan” kita tahu, ialah orang yang biasa membuat atau terlibat dengan kegiatan jual beli warta. “Dramawan” kita tahu, ialah orang yang aktif dalam bidang drama atau teater. “Seniman” kita tahu, ialah orang yang berkesenian, menciptakan kesenian. Akan tetapi “budayawan”? Asal ada orang yang tidak jelas masuk ke dalam “wan” yang lain, mudah saja disebut budayawan. Artinya budayawan adalah yang bukan sastrawan, yang bukan dramawan, yang bukan seniman, yang bukan wartawan….***
Penulis, budayawan /15 Jan 2011.